silahkan singgah... semoga nyaman...

Counters

Tuesday, February 10, 2009

Tukang Vermak Levis


Profesi yang nyaris luput dari perhatian kita ini -hanya asumsi pribadi saja- ternyata bukanlah profesi yang bisa dianggap remeh atau sepele. Sebab selain si tukang harus punya keterampilan menjahit (minimal bisa mengoperasikan mesin jahit), ia juga mesti punya kaki yang kuat. Tentu untuk mengayuh gerobaknya berkeliling mencari pelanggan yang tidak bisa diprediksi jauhnya serta untuk menggenjot mesin jahit ketika ada yang menyetop karena memerlukan jasanya.

Tukang vermak levis, begitu istilah untuk menyebut profesi ini. Levis, sebenarnya merek produk jeans terkenal, namun orang awam cenderung menggunakan kata Levis untuk menyebut jeans. Saya biasa menyebutnya tukang jahit keliling. Karena tidak hanya Levis (baca: jeans) saja yang bisa divermaknya, melainkan dari bahan kain biasa kadang juga dikerjakannya.

Banyak hal menarik yang baru saya ketahui dari tukang vermak jeans keliling (saya lupa tanya namanya) yang ibu saya panggil beberapa waktu lalu ketika melintas didepan rumah. Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah gerobaknya, serba sederhana dan terkesan apa adanya. Katanya dia membuat sendiri gerobak yang dia pakai untuk berkeliling dengan memodifikasi sepeda mini miliknya.

Bagian depan sepeda dia buat sedemikian rupa hingga tampak seperti meja untuk tempat mesin jahit menyatu dengan tempat duduk (seperti meja jaman TK) dimana di bawahnya ada ruang untuk kakinya mengayuh mesin tersebut. Namun ketika saya perhatikan, saat dia bekerja (menjahit pesanan), kakinya tidak sepenuhnya masuk ke dalam ruang tersebut, sehingga terlihat agak aneh. Satu kaki di dalam bekerja, satu kaki di luar. Alasannya adalah tidak muat bila keduanya masuk.

Diakuinya ini salah satu kekurangan gerobak buatannya, ruang kaki yang kurang lapang. Alhasil terpaksa dia harus menjalankan mesin dengan satu kaki. Mesin yang dia gunakan sama dengan mesin jahit hadiah ulang tahunku yang ke-23, 'butterfly', merek yang sudah cukup ternama sebagai produsen mesin jahit.

Perlengkapan jahitnya juga senada dengan gerobaknya, serba sederhana, tidak seperti peralatan menjahit penjahit langganan saya. Lalu di depan sadel sepeda, gagang payung diikat sekenanya pada palang stang guna melindunginya dari sengatan matahari dan guyuran hujan ketika di jalan. Aku amati hampir seperti gerobak bak orkes melayu keliling saja.

Bapak yang berusia kira-kira 40-an ini memiliki keahlian menjahit yang cukup baik menurut saya. Dia hanya menghargai jasanya senilai Rp 3000,00 per potong jeans yang divermak cukup rapi. Namun ketika ditanya kenapa tidak membuka usaha jahit saja dirumah, jadi tidak repot, tidak capek, tinggal menunggu konsumen datang dan memasukkan pesanan. Bapak itu tersenyum ramah sambil sibuk memvermak jeans kami, 'Lebih banyak pelanggan di jalan daripada kalau buka jahitan di rumah', katanya. Itu artinya dia pernah mencoba membuka usaha jahit di rumah namun tidak berhasil.

Lalu dia melanjutkan, dia telah melakoni pekerjaan ini sejak lama. Bahkan ketika dulu merantau ke Jakarta, dia juga bekerja menjadi tukang jahit jeans keliling. Yang membuat saya kagum adalah begitu niatnya dia mencari nafkah halal sampai-sampai terpikir ide kreatif serta inovatif menjadi tukang vermak jeans yang hasilnya tidak seberapa dibanding capeknya ini. Apalagi sama sekali tidak terlihat gurat 'menyerah dengan keadaan' di wajahnya, yang ada malah ketika berbicara dia lebih banyak memperlihatkan segaris senyuman sambil menunduk. Entah karena bapak ini terlalu berkonsentrasi dalam bekerja sehingga jarang memperhatikan penanyanya, atau orangnya memang pemalu atau rendah hati atau jangan-jangan grogi berbicara denganku (hehe^^). Entahlah.

Saya cenderung lebih menghargai pekerjaan seperti bapak ini daripada pekerjaan yang hanya merugikan orang lain, pekerjaan demi mendapatkan materi secara instan, pekerjaan yang menggadaikan harga diri maupun pekerjaan yang didasari motif menjaga prestise. Pekerjaan apapun asal halal sesungguhnya jauh lebih baik. Hanya saja kadang manusia melihat manusia lain dengan cara pandang yang terkesan tidak tahu diri. Ketika berada diatas, kebanyakan malah memicingkan mata melihat kebawah.

Tak jarang pula manusia mengkelas-kelaskan sesamanya berdasar status sosial yang bisa dilihat dari jenis pekerjaannya. Padahal Tuhan menciptakan manusia itu sama, Dia tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasar apapun kecuali amalnya. Bukankah begitu? Semoga saja saya dan anda tidak akan pernah termasuk dalam kategori orang yang tidak tahu diri itu. Mensyukuri atas pekerjaan yang layak dan tidak menjadi lupa diri ketika berada atas. Amin.

0 comments: